Cerpen
Kentut
Oleh Nur Laila Sofiatun
“Hoammh.....”
“Desi cepat banguuun, ntar keburu
imsak lho.”
“Iya Ma,” ucapku sambil
menyingkirkan selimut warna abu-abu yang tadi malam setia menghangatkanku dari
dinginnya malam.
Dengan sempoyongan aku berjalan menghampiri keluargaku yang sudah menunggu
di meja makan. Segera kutarik kursi dari bawah meja. Mataku segera menatap ayam
goreng dan sayur kangkung yang begitu menggugah selera makanku.
“Cuci muka dulu dong, Des,” ucap ayah sambil menatapku yang hendak mengambil nasi
dari bakulnya.
“Ah,
males, Yah,” jawabku sambil meneruskan mengambil nasi dari bakul.
“Emangnya kamu mau makan dengan lauk
iler, jhahahaha....?” akhirnya mbak Rina, saudara perempuanku angkat
bicara.
Dengan malas aku beranjak ke kamar mandi
untuk mencuci mukaku, hanya demi menghargai ayah dan mbakku. Sahur kali itupun aku menghabiskan 2 potong ayam goreng
yang cukup membuat perutku kekenyangan.
***
Ramadhan kali ini adalah ramadhan
pertama aku berpuasa. Padahal aku sudah kelas XI SMA di daerah Banjarnegara.
Eitz, tapi jangan su’udzan dulu ya,
karena sebenarnya keluargaku adalah keluarga mualaf. Jadi maklumlah kalau aku baru pertama puasa Ramadhan tahun
ini. Itu sebabnya mengapa aku selalu dibangunkan saat makan sahur.
Pada
tahun-tahun sebelumnya aku hanya tidak makan saat berada di sekolah untuk
menghormati teman-temanku yang sedang menjalankan puasa. Dulunya aku adalah
penganut katolik yang alim. Perpindahan kepercayaan itu dimulai ketika ayahku
yang seorang guru Biologi, berdebat tentang Nabi Isa as. dan ibunya Maryam
dengan pak Azis guru Biologi juga, yang paham tentang agama Islam secara kaffah.
Dalam
perdebatan tersebut ayah mulai ragu dengan keyakinannya. Ayah mulai berpikir
bahwa tidak mungkin Tuhan itu beranak. Jika Tuhan beranak, maka sebelumnya Dia
juga dilahirkan. Dan jika itu benar, maka Tuhan berkembang biak. Dan itu adalah
hal yang tidak mungkin. Kemudian pak Azis membacakan surat Al-Ikhlas tentang keesaan Tuhan beserta artinya.
“Katakanlah, “Dialah
Allah, Yang Maha Esa.(1) Allah tempat meminta segala sesuatu.(2) Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan,(3) dan tidak ada sesuatupun yang setara
dengan Dia.”(4)” (QS. Al-Ikhlas 1-4)
Seketika
itupun tubuh ayah gemetar. Sejak itu pula ayah memutuskan untuk menjadi seorang
muslim. Begitu pula kami, keluarganya.
***
Saat melaksanakan shalat tarawih
untuk pertama kali, aku merasa sangat kelelahan. Malamnya aku minta ibu untuk
memijat kakiku yang bengkak-bengkak karena tidak terbiasa. Akupun mengeluhkannya
pada ibu.
“Bu, buat apa si kita shalat
banyak begitu, kan capek,” keluhku
pada ibu.
“Tanya pada ayahmu saja Des, ibu
belum bisa menjelaskan.”
“Emangnya
buat apa si Yah?”
“Shalat yang banyak itu disebut
shalat tarawih dan witir Des. Shalat ini merupakan salah satu dari sunnah muakkad, yaitu sunnah yang
hukumnya mendekati wajib. Barangsiapa mengerjakannya, maka akan diberikan
pahala yang besar baginya,” jelas ayah panjang lebar.
“Waaah,
Ayah sudah mirip sama Uje ya, Bu.”
“Uje itu siapa to Des?”
“Uje itu Ustad Jenaka, ya kan, Yah?”
jawabku sok tahu.
“Hehehehe,” ayah segera tertawa
mendengar jawabanku.
Akupun garuk-garuk kepala karena tak
tahu apa yang salah dengan ucapanku. Ayahpun membisikkan sesuatu di telinga
ibuku, dan segera setelah itu ibupun tertawa. Tinggal aku yang masih diliputi
kebingungan menyaksikan mereka tertawa bersama.
***
Hari ini ibu menggoreng ubi jalar
sebagai tajilan untuk berbuka. Saking sukanya pada ubi jalar, akupun
menghabiskan hampir satu piring ubi jalar. Tanpa berpikir akan akibat yang
bakal aku peroleh karena memakan terlalu banyak ubi jalar.
Saat adzan Isya berkumandang segera
kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku biasa
melaksanakan shalat tarawih di Mushola Al-Amin, yang berada dekat rumahku. Karena
rumahku dekat, aku hampir selalu mendapat shaf
terdepan dari jamaah wanita. Begitupun hari ini, aku berada di shaf terdepan bersama ibu dan mbak Rina.
Dalam fasihnya bacaan ayat suci yang
dikumandangkan Imam mushola, kucoba tuk khusyu’
dalam shalat tarawih kali ini. Kuteringat dengan ucapan ayah kemarin bahwa
hukum shalat tarawih dan witir itu mendekati wajib. Akupun merasa seperti
diberi kekuatan lebih agar tidak lekas capek,
berkat semangat membaraku.
Dalam raka’at keempat shalat
tarawihku, tiba-tiba perutku mulai terasa mules. Aku baru teringat kalau tadi
aku terlalu banyak memakan ubi jalar. Padahal ubi jalar itu meningkatkan
produksi amoniak dalam perut. Aku
merasa gas amoniak dalam perutku
ingin segera beranjak keluar. Tapi tetap kutahan, karena setahuku kentut itu
membatalkan wudhu seseorang.
Lama
kelamaan aku tak tahan. Aku benar-benar ingin kentut. Dengan terpaksa akupun
kentut saat itu. Untung saja, kentutku tidak bersuara, hehehe. Karena aku
berada di shaf depan, akupun tetap
melaksanakan shalat tarawih. Aku belum pernah mendengar penjelasan apa yang
harus dilakukan saat kentut dalam shalat berjamaah. Demi menjaga ketertiban
shalat dan demi menjaga gengsi akupun berniat meneruskan shalat sampai selesai.
Raka’at
kelima, perutku benar-benar mules. Aku ingin kentut lagi. Tiba-tiba saja...
“Duuuuuuuut...........” kali ini kentutku
tak bisa diajak kompromi.
Sejenak
kudengar beberapa orang menahan tawa mereka. Anak-anak kecil di bagian
belakangpun terdengar saling berbisik. Aku yang menjadi tersangka utama atas
kerusuhan ini merasa sangat malu. Akan tetapi aku pura-pura tak tahu, aku
terlalu takut mendapat cemoohan dari para jama’ah. Akupun lebih memilih diam.
Dan untungnya lagi, para jamaah tidak mempermasalahkan siapa yang kentut.
Mereka lebih memilih tetap dalam kekhusyukan shalat mereka.
Saat
raka’at kedua shalat witir, tiba-tiba seorang nenek yang berada di samping
ibuku beranjak meninggalkan shaf shalat. Akupun kehilangan konsentrasi shalatku,
aku penasaran dengan nenek tadi. Hendak kemanakah beliau dan kenapa beliau
pergi. Akibatnya aku ingin segera menyelesaikan shalatku. Hatiku tambah tak
karuan, mengingat kentutku tadi dan kepergian nenek itu.
Usai
shalat aku segera saja meninggalkan shafku
dan segera beranjak keluar mushola. Tujuanku saat ini adalah menemui nenek
tadi. Aku berdiri di dekat pintu keluar mushola sambil celingukan ke kiri dan
kanan, mencari-cari nenek tadi.
“Des,
pulang bareng yuk,” ucap mbak Rina mengangetkanku.
“Oh,
aku pulang entar mbak,” jawabku masih
dengan celingukan.
“Hayoo,
nunggu siapa Des,” ledek mbak Rina.
“Ah,
mau tahu aja. Sana mbak pulang aja,
jangan ganggu Desi.”
Akhirnya
mbak Rina pulang duluan. Sudah 20 menit aku menunggu, tapi nenek tadi belum juga
keluar dari mushola. Kutengok ke dalam mushola, hanya tinggal 3 orang di sana.
Nenek tadi beranjak keluar setelah tenggelam dalam sujudnya baberapa menit.
“Assalamu’alaikum,
nek,” sapaku menyambut nenek di pintu keluar mushola.
“Wa’alaikumsalam,
enten nopo nduk?” jawab nenek itu
dengan senyum.
“Nek,
bolehkah saya bertanya sama nenek?”
“Tentu
boleh nduk, mau tanya apa?”
“Sebelumnya
maaf ya nek, tadi saya lihat nenek keluar mushola, padahal sedang dilaksanakan
shalat witir,” ucapku agak berhati-hati.
“Oh,
tadi nenek kentut nduk, hehehe,”
jawab beliau lugu.
“Memang
kalau kentut saat shalat, kita harus keluar ya nek,”
“Gini
nduk, kentut itu kan membatalkan
wudhu, berarti karena wudhu kita sudah batal, maka shalat kitapun batal, jadi
kita harus keluar untuk berwudu kembali.”
“Tapi,
kalau kita keluar nanti menganggu shalat orang lain nek, lagipula mereka kan
gak tahu kalau kita kentut.”
“Mereka
tahu atau tidak, shalat kita kan tetep
batal nduk, dan sia-sia saja jika kita shalat, karena shalat kita tidak sah
dengan sudah batalnya wudhu.”
“Oooh...”
jawabku manggut-manggut.
Akhirnya
malam itu aku habiskan untuk berbincang-bincang masalah shalat dan kentut
dengan nenek tadi, yang ternyata bernama nenek Wartinah. Bagiku penjelasan
beliau sungguh mudah dimengerti. Bahasanya sederhana, cocok untuk orang-orang
sepertiku, yang baru mengenal Islam. Akupun berniat mengkaji ilmu agama pada
beliau.
Dan
mulai saat ini aku akan menghentikan shalatku, saat kutahu aku kentut. Lebih
baik malu kepada manusia, daripada harus malu kepada Allah. Dan satu hal lagi
yang harus aku hindari, yaitu jangan terlalu banyak makan ubi-ubian saat
berbuka. Semoga puasa, tarwih, dan witirku tahun depan lebih baik lagi. Amiin.
------Sekian------
Komentar
Posting Komentar